SELAMAT DATANG,KAWAN
SELAMILAH JEJAKKU DI SINI

Kamis, 20 Juni 2013

Rinduku, Rindu Dia, Rindu Kita


Aku membaca kerinduan dari setiap mata yang lelah karena menangis. Menangis karena beban yang bertumpuk-tumpuk. Menangis tetapi tiada tahu harus menumpahkan pada bahu siapa. Kepada siapa lagi? Yang diharapkan bisa memberikan madu kebahagiaan ternyata yang diberikan adalah racun penderitaan. Racun itu bertambah lagi ketika tuan-tuan yang dikira malaikat tertawa bersama menyeduhkan racun bernama kenaikan BBM.

Disinilah aku membaca kerinduan itu. Bahkan aku mendengar suaranya. Katanya aku rindu pada Suharto meski tak suka pada sistemnya. Mendengarnya membuat airmata ini jatuh. Apakah mereka tak tahu ada masa yang jika boleh aku menamainya setangah firdaus di dunia. 13 abad ia telah menaungi dunia. Dan dengarlah kerinduan-kerinduan ini.

Di masa itu tak ada yang inginkan zakat. Sekarang? manusia bertaruh nyawa demi antri bantuan langsung tunai.

Hanya ada di masa itu seorang pemimpin menangis jika ada kambing yang terperosok karena jalan tidak rata. Sekarang?

Hanya pada masa itu guru TPA saja digaji sebanyak 15 dinar atau setara 32 juta.

Hanya pada masa itu pendidikan dan kesehatan diberikan gratis tanpa pandang dulu. Kaya miskin sama saja.

Hanya pada masa itu, dalam naungannya selama 13 abad hanya terjadi +200 kasus potong tangan. Sekarang?

Hanya pada masa itu seoarang pemimpin berani berkata jika anakku yang mencuri biarlah aku sendiri yang memotong tangannya. Sekarang?

Hanya pada masa itu satu wanita yang diganggu, maka perang langsung diteriakkan.

Dan aku takkan mampu untuk menulis keindahannya lebih banyak di sini. Tapi paling tidak aku ingin mengajakmu merindu pada yang harusnya benar-benar kau rindukan. Karena jika kau tahu indahnya hidup di masa itu, kau akan sama denganku: menangis karena sangat merindukannya lalu memperjuangkannya.

Tentu saja  wajar jika aku menyebutnya setengah firdaus di dunia. Karena ia adalah sistem yang berasal dari yang menciptakan Firdaus. Ia adalah sistem dari yang menciptakan dunia dan seisinya. Ia adalah KHILAFAH.
Dan tersenyumlah, kawan. Mari ikut barisan memperjuangkan kembali Khilafah yang sama-sama kita rindukan.


Palembang, 18 Juni 2013



Tak Cukup dengan Mata, Tak Terang dengan Rasa


Kadang tak selalu apa yang dilihat mata menjadi pembenaran, sebab mata takkan mampu melihat dibalik dinding juga tak dapat melihat dalam kegelapan. Kadang pula tak cukup hanya bersandar pada perasaan, sebab perasaan lebih banyak dipengaruhi oleh keadaan. Seperti tiga hari lalu yang telah saya catat sebagai penyesalan juga pengalaman.

Awalnya saya tak percaya ketika membaca brosur dari CintaQuran yang dengan tulisan besar menuliskan BISA MEMBACA ALQURAN HANYA DALAM WAKTU 6 JAM. Lalu logika mulai bergerak, perasaaan ajak untuk menolak.
” Ah tidak masuk akal. Bagaimana mungkin bisa baca qur’an dalam 6 jam. Saya saja belajar iqro’ butuh waktu berbulan-bulan. Ini pasti akal-akalan. Khayalan.”

Begitulah ketika mata tak mampu menjangkau yang jauh. Ketika perasaan menjadi sandaran perbuatan. Namun meski saya tidak percaya, saya tetap datang pada acara itu (apalagi dapat beasiswa.hehe). Setelah mengikuti jam per jam. Di 3 jam pertama saya sudah menyesal. 3 jam berikutnya lebih menyesal lagi. Di ruangan itu ada beberapa yang sebatang alif pun tak dikenal. Di ruangan itu ada beberapa yang belum bisa sambungkan huruf per huruf. Tetapi 6 jam berlalu, segalanya berubah. Yang tak kenal sebatang alif menjadi bisa membaca huruf yang telah tersambung.  Semula yang menurut saya tak masuk akal, tetapi menjadi sangat masuk akal ketika saya tahu metodenya.

Sesampai di rumah saya merenung. Sebuah pertanyaan keluar dari hati bertanya pada diri.

“Jika kamu seperti itu, apa bedanya dengan mereka yang meragukan tegaknya kembali Khilafah?”

Saya tersentak. Benar. Apa bedanya saya dengan mereka yang tak percaya. Yang mengatakan Khilafah itu mimpi. Khilafah itu ilusi. Apa bedanya?

Dari sini, kawan. Saya coba bagikan pelajaran. Sungguh aneh jika ada yang menyimpulkan isi dari sebuah buku, padahal memegang buku apalagi untuk membacanya saja belum. Tak elok rasanya menilai perjuangan saudara kita yang inginkan Islam kembali diterapkan sementara tak ikut memperjuangkannya.

Kenapa dahulu Islam Berjaya memimpin dunia? Karena para sahabat tak pernah bertanya "Apa mungkin bisa?". Tengoklah ketika Salman Al Farisi memberikan idenya untuk menggali parit pada perang Khandaq. Tak ada satu pun sahabat yang bertanya,” apa mungkin dengan menggali parit kita dapat mengalahkan musuh.” Yang keluar justru pertanyaan yang menurut orang tak beriman adalah pertanyaan gila. Apa pertanyaannya?
“Ya Rasul. Kota manakah yang dibebaskan lebih dulu, Konstantinopel atau Roma?” 

 Dua kota yang jika dipikirkan dengan logika pastilah yang keluar dari mulut adalah gila. Parit saja belum jadi sudah membicarakan penaklukkan kota lain. Tetapi sebutan-sebutan gila itu memang selalu terlontarkan kepada yang beriman. Karena  mereka percaya lebih dari apa yang mata lihat. Mereka tak jadikan perasaan sebagai sandaran. Karena apa saja yang termaktub dalam alqur’an itulah kebenaran. Begitupun, apa saja yang keluar dari Mulut Rasulullah itu sudah cukup meski satu milyar manusia mentertawakannya dan menganggapnya tak masuk akal.





Palembang, 19 juni 2013