Semalam
aku ketakutan persis takutnya aku pada cerita kuntilanak yang menghuni pohon
tua di dekat sungai Batang Hari. Aku menggigit bibirku kuat-kuat, ingin
kuteriakkan,” aku masih kecil.” Aku masih kecil, memang. Baru beberapa bulan di
SD N 1 Mengulak. Memakai sepatu saja aku belum bisa. Tetapi bisik-bisik kecil
semalam memaksaku untuk menutup selimut lebih dalam.
“Puko,
bangun, sudah siang. Sekolah kan?”
Oh
Umak lupa kalau hari ini hari minggu. Sebenarnya hari apa pun, aku tidak pernah
kesiangan. Bukan kesiangan, lebih tepatnya molor. Hari ini aku sengaja untuk
tetap bertahan dalam kelambu. Aku masih ketakutan mengingat apa yang
direncanakan Ubak dan Umak.
“Oh
iya, hari ini hari minggu. Kamu tidak ikut kiaimu ke sungai. Biasanya kalian
pergi ke sungai.”
Kiai?
Gara-gara dia juga aku ketakutan seperti ini. Kiai sudah kelas lima SD. Makanya
Ubak dan Umak merasa sudah waktunya untuk melakukan pemotongan. Memang. Tetapi tidak
untukku . Aku masih kecil mak, bak.
“Ayo
bangun, Nanti Ubakmu marah.”
“Aku
masih kecil…” tanpa sadar aku berteriak.
“Eh,
masih mimpi.”
Umak
hanya tersenyum melihat tingkah anehku hari ini. Aneh? Merekalah yang aneh. Aku
masih kecil, aku takut!!
Aku
masih ingat apa yang Umak dan Ubak diskusikan. Aku belum tidur. Aku
mendengarnya dengan jelas.
“Zani
sudah kelas lima. Sepertinya sudah waktunya. “
“Lalu
Puko?” tanya Umak.
Ubak
sedikit berpikir, semenit kemudian tersenyum. Lalu ia membisikkan Umak. Umak
pun tersenyum. Aku tahu apa yang Ubak bisikkan. Aku tahu. Aku akan disamakan
dengan Kiai.
***
Entah
bagaimana ceritanya, bisikan semalam sudah menyebar di seluruh gendang telinga.
Teman-teman di kelas begitu kompak mengkerumuniku, persis seperti gerombolan
semut yang hinggap di atas gula. Macam-macak ekspresi yang mereka mainkan. Ada
yang terkagum-kagum menganggapku ksatria. Ada yang sangsi, mimiknya nampak
ketakutan. Ada yang iri. Dan ada banyak ekpsresi lainnya.
“Hebat
kau, Puko. Masih kecil sudah akan dipotong.”
Sontak
saja semua tertawa. Wajar saja ada yang memujiku hebat. Soalnya mahluk yang
berjenis kelamin laki-laki di kampungku belum ada yang akan sepertiku. Paling
kecil kelas tiga. Sedang aku? Baru beberapa bulan di kelas satu.
“Semoga
tidak terjadi apa-apa denganmu, teman.”
Ucapan
ini yang membuat ketakutanku semakin menjadi-jadi. Semoga tidak terjadi apa-apa. Ah, apakah mungkin orangtua akan
membunuh anaknya sendiri. Tidak. Tidak mungkin.
“Puko,
kau akan menjadi yang pertama di antara kita. Kami akan belajar darimu. Kami akan
bertanya padamu. Sukses teman.”
Hoalah.
Si Syafe’i omongannya udah kayak orang dewasa banget. Apa karena pengaruh
cita-citanya yang ingin seperti Ustad Somad. Entahlah. Aku harus bahagia atau
bersedih. Yang pasti aku tidak mungkin bisa lagi mencegah bisikan itu. Aku tahu
Ubak. Keputusannya tidak pernah bisa terbantahkan.
Sementara
kegiatan sehabis magrib hari ini nampak begitu berbeda dengan hari-hari yang
lainnya. Wajah Ustads Somad begitu sumringah melihat Kiai dan aku. Aku dan Kiai
begitu diistimewakan. Aku dan Kiai duduk di depan bersama Ustad Somad.
“Kalian
tahu. Kenapa anak laki-laki diperintahkan untuk disunat?” tanya Ustads Somad.
“Biar
bisa bertemu bidadari di syurga, Ustad,” jawab Syafe’i cepat. Ustad Somad hanya
tersenyum. Lalu menceritakan betapa indahnya Islam itu. Islam begitu peduli
pada manusia, sampai pada perintah pemotongan pun ditujukan untuk kebahagiaan
manusia itu sendiri. Rasanya, tidak perlu aku menceritakan apa yang disampaikan Ustad
Somad. Yang jelas, Tuhan tidak akan memerintahkan yang tidak baik untuk
manusia.
***
Kelak,
aku akan dikelilingi bidadari-bidadari syurga. Bagaimana mungkin
bidadari-bidadari itu akan mendekat jika aku tidak melakukan pemotongan.
Ketakutanku pun raib seketika. Aku sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi.
Bukankah Nabi Ismail merelakan lehernya untuk dipotong ayahnya? Dan Tuhan
menggantikannya dengan keindahan. Aku dan kiai tidak akan dipotong lehernya
dengan pisau yang tajam. Aku dan kiai hanya akan menjalani hal yang lumrah, yang
biasa. Hanya masalahnya padaku? Kata-kata ‘aku masih kecil’ yang membuat aku
ketakutan. Tetapi, hari ini aku pejamkan mataku dan meyakinkan diri sendiri,”
Semua akan baik-baik saja.”
Dua
minggu lagi pemotongan itu akan dilakukan. Berbagai mitos pun diceritakan pada
kiai dan aku.
“Ingat,
Jangan sampai kalian melangkahi tahi ayam, apalagi sampai menginjaknya.” Nasehat seorang laki-laki yang sudah
mengalami pemotongan.
“Memangnya
kenapa?” tanya kiai.
“Kau
akan kesakitan…Kesakitan...”
Wow,
aku tidak ingin mendengar kata-kata itu. Bermacam-macam nasehat yang diberikan
pada kami. Hingga aku harus menghentikan acara bermainku bersama teman-teman.
Aku hanya sekolah, setelah itu tidak kemana-mana lagi.
Dan…aku
pun melanggar nasehat. Menjelang esok acara pemotongan, tanpa sengaja aku telah
menginjak tahi ayam. Ini tidak sengaja. Ini malam, aku tidak melihatnya.
Sungguh. Aku menjadi ketakutan. Masih terngiang nasehat itu, “Kau akan
kesakitan…kesakitan…”
Aku
berlari menuju kamarku dan menguncinya. Di luar sana sudah ramai. Keluarga
besar sudah berkumpul. Orang-orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Asap-asap beraroma bumbu-bumbu masakan bercampur menusuk-nusuk perut. Aku ingin
tetap di kamar ini. Aku sudah melanggar. Aku takut. Aku masih kecil…
Keesokan harinya…
Aku
masih bersembunyi dalam kamar. Semalam aku tidak bisa memejamkan mata barang
sekejap saja. Suara adzan subuh terdengar memilukan. Hari ini aku akan
dipotong. Hari ini aku akan kesakitan. Kata Ustad Somad malaikat maut mencabut
nyawa dengan sangat keras. Pedih. Ini akan terjadi padaku. Oh, seharusnya tahi
ayam itu tidak aku injak.
: ”Puko…Puko...”
“Di
mana Puko?”
“Sudah
jam delapan.”
Astaga,
sudah jam delapan. Mereka mencariku?
Terdengar
suara ketukan dengan nada empat per empat.
“Puko…”
Aku
kenal suara itu. Itu suara Ubak. Aku tidak mungkin terus menahan bibirku. Aku
harus membukanya. Aku takut pada Ubak. Aku takut ia marah.
“Ayo
mandi, bersiaplah.” Ucap Ubak saat aku membukakan pintu kamar.
“Lihat
kiaimu sudah siap. Dia sudah banyak dapat uang. Kenapa kamu sembunyi?”
Aku
langsung menangis, menangis, hingga semua orang memandangku dengan senyam
senyum. Umak mendekatiku, ia menciumku.
“Kamu
kenapa, sayang.”
“A,,,aku,,,masih
kecil, mak…Aku sudah melanggar.”
“Melanggar
apa?”
“Tahi
ayam.”
Umak
tertawa, yang hadir pun ikut tertawa. Umak mencium pipiku sekali lagi.
“Jangan
kau percaya. Itu hanya kebohongan, agar kau tidak main-main di luar rumah.”
Aku
pun menghapus airmataku. Aku dimandikan, entah siapa yang memandikanku. Setelah
itu aku dipakaikan kostum sama seperti kostum kiai. Kostum kebesaran raja
dengan corak merah dan manik-manik kuning. Dipasangkan topi mirip topi China.
Umak menciumku sekali lagi. Ubak juga. Di depan rumah sudah bertalu-talu suara
musik yang riang, kadang juga syahdu. Aku dan kiai dinaikkan di atas gerobak
tinggi. Luar biasa, kami seperti putra mahkkota dari kerajaan Sriwijaya.
Sebelum
naik, Umak mendekati kami. Diciumnya aku dan kiai. Berkali-kali Umak menciumi
kami. Ubak hanya tersenyum. Dan sedetik kemudian airmata jatuh dari pelupuk
mata mereka. Aku tahu, mereka menangis bukan karena bersedih. Mereka bahagia.
Aku pun tanpa sadar menitikkan air mata, begitu pula Kiai. Inilah awal
kehidupan itu.
Semua
teman-temanku ikut mengiringi perjalanan kami. Aku dan kiai akan di arak
keliling kampung. Aku melihat laki-laki yang mengajarkan untuk tidak mengijnak
tahi ayam. Ia nampak tertawa memperhatikanku. Mungkin aku memang bodoh, sampai
harus bersembunyi. Inilah hal yang tidak bisa kulupakan. Jika mengingatnya aku
akan menitikkan airmata. Begitu istimewanya pesta ini. Orangtua kami begitu
menyayangi kami.
***
Setelah
puas diarak. Acara yang mengerikan pun dimulai. Kiai yang duluan, aku masih
menunggu. Aku tidak melihatnya, aku hanya mendapatkan kabar. Pemotongan itu
berdarah. Ah, aku semakin ketakutan. Tidak, aku tidak boleh takut. Malu, jika
pemotongan ini tidak terjadi. Aku malu pada teman-temanku. Akhirnya giliranku,
kostum kebesaran telah diganti dengan sarung. Aku berdoa pada Tuhan, “Ya Allah,
aku ingin bertemu bidadari-Mu. Mudahkanlah, semoga tidak ada kesakitan. amin…”
Aku
menggigit bibirku dengan cukup keras. Menyakitkan memang. Tetapi hanya sekejap,
setelah itu dingin yang kurasakan. Aku
juga sempat tersenyum ,saat bapak-bapak bermain teka-teki.
“Lebih
susah mana, melahirkan atau disunat?”
“Melahirkan…”
Jawab mereka kompak.
“Salah.”
“Lo?”
“Iya
buktinya, disunat cuma sekali seumur hidup. Sedangkan melahirkan bisa
berkali-kali. Itu artinya apa? disunat lebih menyakitkan daripada melahirkan.”
Sontak
semua tertawa, termasuk mantri yang akan memotongku, aku pun ikut tersenyum.
Meski sakit.
Catatan:
Umak
= Ibu
Ubak
= Ayah
Kiai
= Kakak